Rabu, 10 Oktober 2007

Resensi Buku


Ketiadaan Waktu dan Realitas Takdir Harun Yahya (Penulis), Aminah Mustari (Penj), Dadi M.H. Basri (Peny.), Robbani Press (Telp. 87780250), Rabi'ul Awwal 1424 H/Mei 2003 M, Rp. 17.000, xvii + 213 hlm.


Meluruskan Konsep Waktu

Dengan baju ilmiah, Materialisme dan ideologi turunannya tak henti-hentinya menggugat dan mengingkari fakta penciptaan. Beberapa kurun lamanya, dagangannya ini cukup laku juga. Namun sejalan dengan perjalanan waktu, segenap teori yang dibangunnya hancur berkeping-keping. Tragisnya, keruntuhannya itu pun dikukuhkan dengan teori-teori ilmiah dan berbagai temuan mutakhir di bidang sains. Fakta inilah yang dieksplorasi secara gemilang dan meyakinkan oleh Harun Yahya melalui buku-bukunya, seperti juga buku ini.
Bila Materialisme tak pernah percaya akan adanya sesuatu di balik materi—yang mengindikasikan adanya pengingkaran terhadap penciptaan, hal senada juga menyangkut pemahamannya terhadap waktu. Kaum materialis meyakini bahwa waktu bersifat mutlak dan abadi, yang karenanya tak ada yang menciptakan waktu. Padahal faktanya waktu itu bersifat relatif, yang meniscayakan adanya Sang Pencipta. Hal ini tak hanya diberitakan dalam al-Qur'an, tapi juga diperkuat dengan pendapat para fisikawan modern. Dan kepiawaian Harun Yahya dalam meramu dua dalil kebenaran tersebut sungguh tidak diragukan lagi.
Menurut Ilmuwan asal Turki ini, dari penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern disimpulkan bahwa waktu bukanlah kenyataan mutlak seperti yang disangka para materialis, melainkan hanya merupakan persepsi relatif. Yang paling menarik adalah bahwa fakta yang tidak ditemukan sains hingga abad kedua puluh ini diungkapkan kepada umat manusia dalam al-Qur'an sejak empat belas abad yang lalu. Ada berbagai referensi dalam al-Qur'an mengenai relativitas waktu ini.
Fakta yang terbukti secara ilmiah bahwa waktu merupakan persepsi psikologis yang bergantung pada peristiwa, latar, dan kondisi, dapat dilihat di dalam banyak ayat al-Qur'an. Sebagai contoh, seluruh kehidupan seseorang sangat singkat seperti yang dikabarkan dalam al-Qur'an:
“Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) kecuali hanya sesaat saja di siang hari (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk” (QS. Yunus [10]: 45).
Dalam beberapa ayat ditunjukkan bahwa manusia menganggap waktu berbeda-beda satu sama lain, dan terkadang manusia dapat menganggap waktu yang sangat singkat menjadi waktu yang sangat lama. Percakapan yang terjadi di hari perhitungan di akhirat berikut ini merupkan contoh tentang hal itu.
“Allah bertanya, ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?' Mereka menjawab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.' Allah berfirman, ‘Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui'” (QS. al-Mukminun [23]: 112-114).
Ayat-ayat ini merupakan ungkapan manifestasi yang jelas tentang relativitas waktu. Fakta bahwa informasi yang baru saja dipahami oleh ilmuwan abad kedua puluh ini telah diinformasikan kepada manusia 1400 tahun yang lalu di dalam al-Qur'an, merupakan tanda bahwa wahyu ini adalah dari Allah, yang meliputi keseluruhan waktu dan ruang. Dia-lah (Allah) Yang menciptakan waktu, dan tidak dibatasi oleh waktu itu sendiri. Sementara manusia, bukankah untuk mengetahui waktu tidurnya saja tidak tahu?
Dengan demikian, sangatlah tidak masuk akal untuk mempertahankan pernyataan bahwa waktu adalah mutlak—sebagaimana keyakinan para penganut Materialisme.
Mengapa Harun Yahya, penulis produktif ini tergugah untuk meluruskan konsep waktu, dan menekankan bahwa waktu itu sangat relatif? Karena hal ini bertautan dengan konsep takdir—yang merupakan pengetahuan sempurna Allah tentang peristiwa masa lalu dan masa mendatang. Sebuah konsep yang tidak dipahami dengan baik oleh kebanyakan orang, terutama para materialis yang sepenuhnya menolak konsep ini.
Kebanyakan orang mempertanyakan bagaimana Allah mengetahui peristiwa-peristiwa yang belum dilalui. Hal inilah yang menyebabkan mereka gagal dalam memahami kebenaran takdir. Bagaimana pun juga, peristiwa-peristiwa yang belum dialami itu hanyalah belum dialami oleh kita. Sementara Allah tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena Ia yang menciptakan semua itu. Karena alasan inilah, maka masa lalu, masa depan, dan masa kini, semuanya adalah sama saja bagi Allah; bagi-Nya, segala sesuatu telah terjadi dan berakhir.
Kita juga memahami dari apa yang Allah kaitkan dalam al-Qur'an, yakni bahwa waktu itu satu bagi Allah. Banyak kejadian yang tampaknya akan terjadi di masa datang disebutkan dalam al-Qur'an dengan cara demikian, seakan-akan ia telah berlangsung jauh sebelum itu. Dan hal ini hanya bisa dipahami kalau seseorang memahami secara benar konsep takdir, yang—sekali lagi— merupakan pengetahuan sempurna Allah tentang peristiwa masa lalu dan masa mendatang.
Maka selain menegaskan relativitas waktu, buku ini juga insya Allah makin menambah keimanan kita terhadap takdir Allah.

Tidak ada komentar: